Negara Ini Bukan Milik Jokowi dan Habib Rizieq
Negara Ini Bukan Milik Jokowi dan Habib Rizieq
Oleh: Tony Rosyid
ORDE Lama tumbang. Faktornya? Pertama, otoriter. Masyumi dibubarkan, HMI dikebiri, dan kekuatan-kekuatan Islam tak berkutik. Padahal, muslim adalah rakyat mayoritas. Kedua, terlalu dekat dan percaya dengan elit PKI. Klimaksnya, PKI berulah. Berontak dan bantai para jenderal. Orde Lama lalu tumbang di tangan rakyat dan militer.
Orde Baru tampil. Di awal bagus. Dan memang begitu. Setiap rezim sering bagus, tapi hanya di awal. Konsentrasi membangun. Syaratnya? Politik stabil. Lalu, semua dikendalikan dan dikontrol. Lambat laun rakyat sadar, Orde Baru juga otoriter. Mirip Orde Lama. Gaya mengelola kekuasaan dengan cara militeristik. Dwi fungsi ABRI jadi andalan strateginya. Totaliter, dan semua sisi kehidupan bangsa diawasi. Siapapun yang kritis dianggap kelompok anti Pancasila. Orde Baru pun jatuh setelah 32 tahun berkuasa. Dengan meninggalkan warisan budaya korupsi yang masif.
Orde Reformasi lahir sebagai gantinya. Harapan rakyat muncul. Habibie menggantikan Soeharto. Lalu Gus Dur dan Megawati berbagi dalam lima tahun. Lanjut SBY dua periode. Sampai disini, Indonesia jadi negara demokratis. Kebebasan rakyat dan pers terjamin.
SBY selesai, Jokowi jadi presiden. Mengalahkan Prabowo yang dikhawatirkan otoriter. Isunya selalu dikaitkan dengan pelanggaran HAM. Kendati tak ada bukti pengadilan. Karena memang tak ada yang membawanya ke pengadilan.
Isu HAM jadi titik lemah Prabowo. Diadili di jalanan, dan dengan cara preman. Dengan isu HAM, Jokowi diuntungkan. 2014, Prabowo kalah dan Jokowi menang. Lepas kontroversi soal sedot data KPU dan isu kecurangan.
Jokowi rising star, wong ndeso, dipersepsi berasal dari kalangan masyarakat kelas bawah. Seorang yang lahir dari rakyat kecil. Mengusung ide Mobil Esemka jadi kendaraan ke Jakarta, lalu ke istana. Entah, Esemka sekarang di parkir dimana. Tak ada yang bisa menemukan.
2014, Jokowi jadi presiden. Ekspektasi rakyat besar kepadanya. Janji-janji politiknya memukau. Tak impor bahan pokok. Beli kembali Indosat. 10 juta lapangan kerja disediakan. Tak akan naikkan BBM. Tol laut dibangun. Menteri kabinet diisi para profesional, bukan bancaan parpol. Dolar 10 ribu. Dan janji-janji lain yang memukau hati rakyat. Rakyat percaya, dan Jokowi jadi presiden.
Ketika janji-janji itu tak kunjung datang. Rakyat mulai kecewa. Mempertanyakan integritas dan kapasitas Jokowi.
Dolar naik, BBM dan TDL naik, entah sudah berapa puluh kali. Bagaimana mungkin harga murah? Mustahil! Lapangan kerja? Eksodus para pekerja China membanjiri pabrik-pabrik di Indonesia. Gajinya bahkan lebih besar dari gaji pekerja asli pribumi. Berbagai video di lapangan yang beredar di masyarakat tentang fakta-fakta itu terus dibantah oleh pemerintah.
Bersamaan dengan itu, muncul kasus Ahok. Kasus penistaan agama. Seperti kebetulan. Kendati orang beragama selalu menolak istilah kebetulan. Karena peristiwa hidup bagi mereka tak ada yang kebetulan.
Umat Islam protes. Tuntut keadilan terhadap kasus Ahok. Para ulama tampil. Habib Rizieq berada di depan, menjadi icon. Bersama Bachtiar Nasir.
Jokowi di belakang Ahok. Back up dan ingin selamatkan Ahok. Setidaknya, ini bacaan Gunawan Muhammad dan sejumlah tokoh. Orang-orang yang berada di lingkaran istana dan dekat dengan Ahok.
Ahok gagal dibela. Kalah di Pilgub dan posisinya lemah. Ahok divonis dua tahun. Ada yang bilang, Ahok sekalian dikorbankan. Beda cerita seandainya Ahok menang. Kecil kemungkinan Ahok divonis dua tahun. Jakarta dan Indonesia bisa gaduh. Kok berandai-andai? Begitulah jika politik dan hukum tak bisa dipisahkan.
Ahok dipenjara, lalu masalah selesai? Ternyata tidak! Kenapa? Sejumlah tokoh demonstran 212 ditangkap. Kena pasal ini dan itu. Dan pertarungan bergeser dari Ahok vs 212 ke Jokowi vs 212.
Dugaan adanya kriminalisasi menyiapkan arena pertarungan baru. Bahkan lebih seru. Yaitu antara Jokowi vs 212. Trigger pertarungan Ahok vs 212 adalah kasus penistaan agama. Dan area pertarungannya di Pilgub DKI. Maka, Jokowi vs 212 itu triggernya adalah kasus dugaan kriminalisasi. Arenanya adalah pilpres 2019. Siapa yang menang? Sabar! Bulan April tidak lama lagi.
Jadi, jika ada yang berpikir bahwa Reuni 212 tidak perlu, berarti ia kurang informasi. Tak paham kronologi. 212 gerakan politik dong? Pertanyaan lugu, dan sedikit dungu. Gobl…… Ah, gak tega. Itu gerakan moral bro. Sebuah perlawanan rakyat yang kecewa terhadap kesewenang-wenangan dan ketidakadilan penguasa. Perlawanan moral kepada penguasa otomatis berefek politik. Karena penguasa ada di lembaga politik. Paham? Mosok kudu diajari. Jika menyangkut soal moral, itu bukan lagi urusan Jokowi dan 212. Tapi, itu urusan seluruh rakyat Indonesia.
Semula ada yang menganggap, itu pertarungan Jokowi vs Habib Rizieq. Ngawur! Negara ini milik 265 juta rakyat. Bukan milik mereka berdua.
Munculnya Habib Rizieq mendorong orang berpikir itu politik identitas. Identitas Islam. Islam ala Habib Rizieq. Sehingga perlawanan rakyat dianggap sebagai upaya untuk mengganti sistem negara. Lalu keluar kata-kata “anti Pancasila”. Kok mirip orde Baru ya? Wualah…. Makin ngawur!
212 dan Habib Rizieq hanya salah satu bentuk gerakan dan gerbong moral. Pertarungannya bukan Jokowi vs 212. Apalagi Jokowi vs Habib Rizieq. Tapi, pertarungan yang sesungguhnya adalah Jokowi vs rakyat yang menuntut janji politik Jokowi di 2014. Jokowi vs rakyat yang kecewa terhadap kesewenang-wenangan penguasa. Jokowi vs rakyat yang kecewa terhadap penegakan hukum. Jokowi vs rakyat yang sulit hidup. Jokowi vs rakyat yang menunggu 10 ribu lapangan kerja. Hanya saja, mereka kurang menonjol di media. Yang muncul dan lebih sering disebut media adalah Habib Rizieq. Biasa, media suka sesuatu yang seksi dan ada sensasi.
Tampilnya Habib Rizieq menguntungkan buat lawan Jokowi, tapi juga merugikan. Kok merugikan? Pertama, lawan Jokowi akhirnya dituduh mengusung politik identitas. Kedua, mereka yang gak sepaham dan sejalan dengan Habib Rizieq akhirnya tak mau bergabung. Ketiga, isu pilpres 2019 didominasi oleh isu agama. Soal imam shalat, wudhu, ziarah kubur, bacaan alfatihah. Jauh dari masalah substansial yang sedang dihadapi bangsa ini. Jadi gak mutu.
*Catatan Akhir Tahun di Jakarta, (31/12/2018)