Utang Pemerintah Besar Pasak daripada Tiang


Utang Pemerintah Besar Pasak daripada Tiang

GELORA.CO – Pengamat infrastruktur Indonesia Wibisono menyoroti jumlah utang  pemerintah yang meningkat sepanjang tahun 2018 mencapai Rp4.418,3 triliun. Angka ini naik sekitar 10,5 persen dibandingkan 2017 yang sebesar Rp 3.995,25 triliun.

”Jumlah ini sangat mengkawatirkan. Kenaikan utang tersebut belum sejalan dengan perbaikan ekonomi di tahun lalu. Contohnya saja, pertumbuhan ekonomi yang hanya tumbuh di angka 5 persen,” ujar Wibi sapaan akrab Wibisono kepada wartawan di Jakarta, Selasa (29/1/2019).

“Utang Pemerintah masih belum produktif. Efek dari naiknya utang pemerintah sebesar 10,5 persen di 2018 dirasa belum signifikan mendorong indikator produktivitas ekonomi, misalnya pertumbuhan ekonomi masih berkisar 5,1 persen dan pertumbuhan ekspor berada di 6,65 persen,” tambahnya.

Selain itu, lanjutnya, utang tersebut juga tidak sepenuhnya dimanfaatkan untuk infrastruktur. Buktinya, belanja pemerintah untuk pegawai dan barang justru lebih besar ketimbang untuk infrastruktur. Tren belanja pegawai naik lebih tinggi yakni 40,5 persen dan belanja barang naik 80,9 persen dalam periode 2014-2018. Sementara belanja modal yang berkaitan dengan infrastruktur kenaikanya hanya 31,4 persen,” kata dia.

Tanggapan Sri Mulyani

Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati mengaku, utang pemerintah yang bertambah sepanjang 2018 sebenarnya tidak perlu dijadikan isu.

Dia mengaku, utang yang dilakukan pemerintah sudah sesuai dengan kemampuan Indonesia. Memang, pada 2018 pemerintah membutuhkan banyak pendanaan untuk pembangunan nasional, terutama dalam mempercepat pengembangan infrastruktur dalam negeri.

Namun, semua itu tujuan akhirnya demi menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih berkualitas.

“Jadi utang tidak hanya dihitung dari sisi nominalnya, tapi juga dihubungkan dengan seluruh perekonomian, apakah terjaga dengan baik. Kala kita lihat terjaga tidak? Terjaga lah. Pertumbuhan ekonomi kita di atas 5 persen dengan defisit makin kecil, bahkan kita menunjukkan primary balance kita hampir nol,” tegas Sri Mulyani di Istana Kepresidenan, Rabu (23/1/2019).

Ia menuturkan, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau GDP yang ditetapkan sebagai ambang batas yaitu sebesar 30 persen. Hingga saat ini, rasio tersebut masih terjaga dengan baik.

Bahkan, Sri Mulyani coba membandingkan dengan beberapa negara berkembang di dunia yang rasionya lebih besar tapi pertumbuhan ekonomi melambat.

“Bayangkan, defisit kita tahun lalu itu hanya 1,7 persen. Sementara negara lain defisit lebih gede, ekonomi tumbuh lebih rendah dari kita. Itu segala sesuatu yang kita lihat,” tegas Sri Mulyani.

“Poin sah utang adalah alat yang digunakan secara hati-hati dengan bertanggung jawab, dibicarakan secara transparaan, bukan ujug-ujug, tidak ugal-ugalan,” lanjut dia.

Wibi berharap dengan penarikan utang yang dilakukan pemerintah bukan hanya untuk program jangka panjang, tetapi juga jangka pendek agar dampaknya terhadap ekonomi bisa langsung terasa. Selain itu, pemerintah pusat juga harus mengurangi belanja yang bersifat konsumtif, terlebih jika anggarannya berasal dari utang.

“Pemerintah pusat tidak bisa melihat hanya efek jangka panjang tapi diharapkan bisa mengoptimalkan dampak hutang di jangka pendek. Postur belanja dari hutang harus di efektifkan untuk pembangunan bukan lebih banyak masuk ke pos belanja konsumtif. Jika postur saat ini terus dibiarkan maka hutang sudah di posisi lampu merah dan besar pasak dari pada tiang,” pungkas  Wibi. [Ht]






http://bitly.com/2WuXmVl

Banner iklan disini
loading...

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :